Selasa, 11 Juni 2013

Perjalanan Pempek Helmy

Oleh: Eka Soraya | 12 June 2013 | 11:01 WIB
Sekitar tahun 1999 di rumah kontrakan kami yang ke empat, di Kompleks Bumi Panyileukan, Cibiru, Bandung Timur, saat badan baru saja segar, setelah empat bulan malas makan dan lain-lain karena mual di periode awal kehamilan anak kedua kami Hendra Hermawan, saya mulai ke warung lagi untuk belanja persiapan makan siang dan malam hari itu. Dan karena sudah mulai nafsu makan kembali karena beberapa bulan kurang asupan gizi, berdampak ingin makan yang macam-macam. Ingin sesuatu yang lebih bervariasi. Tidak puas dengan yang tersedia di warung. Dengan berbekal resep-resep sederhana yang ada di Koran Pikiran Rakyat, saya membuat aneka makanan yang saya inginkan. Dan beberapa kali ke warung bu Siti dan suami yang asli Jawa dan baik tersebut, saya melihat banyak kue-kue basah titipan masyarakat sekitar untuk sarapan. Karena sedang kelebihan tenaga, dan semangat untuk membuat kue-kue selera sendiri, akhirnya saya minta ijin supaya boleh ikut nitip jualan juga pada warung mereka. Dan kemudian berkembang pada beberapa warung lainnya di Kompleks tersebut. Hanya, bila membuat kue-kue tersebut, masih ada ganjalan, masih ada sisa di beberapa tempat, ada yang habis, dan ada yang masih bersisa. Kue-kue tersebut, awalnya ubi manis yang di rebus, di ulek, di bulatkan, diisi gula merah yg di masak dengan kelapa parut, kemudian di goreng. Kemudian berkembang dengan kue soes, kelepon, buah rengas Palembang atau pisang yang ranum di haluskan agak kasar, di campur terigu dan di goreng. Mulai buah rengas ini pak Helmy, suamiku mulai ikut membantu, mengantar ke pasar Gede Bage, mencari pisang yang sudah ranum supaya sudah manis dan empuk, mulai membantu membuatnya dan ikut mengantar ke warung-warung dan menjemput hasil pada sorenya. Kemudian berkembang membuat Martabak Palembang, yang kulitnya di buat satu-satu dari tarigu, telur dan minyak goreng di atas satu keramik lebar oleh suamiku. Isinya kami buat dari potongan kentang dan wortel rebus yang di tumis berbumbu, lalu di goreng. Sampai disini, kami rasa belum maksimal hasilnya, karena masih repot dengan sisa-sisa dari warung yang belum terjual. Akhirnya kami memutuskan untuk berjualan pempek Palembang saja. Di mulai dari pempek kecil-kecil untuk warung-warung, pempek besar yang di jual nitip pada roda pisang keju pak Nur di depan Fuji Film Metro Soekarno-Hatta, dan akhirnya pempek, tekwan dan rujak mie untuk beberapa hotel, catering, dan beberapa orderan perorangan yang minta di antar ke rumah-rumah atau ke acara-acara mereka. Kerjasama dengan hotel dan beberapa catering inilah yang membuat perekonomian kami semakin membaik. Bisa membeli rumah sederhana di Jalan Saluyu 12 B Kompleks Riung Bandung, mengganti Vespa menjadi motor, menabung, biaya sekolah kedua anak kami yang kebetulan bisa sekolah di sekolah terbaik di Bandung, dan Alhamdulillah bisa mengantar anak pertama sampai lulus SMAN3 Akselerasi, dan di terima melalui jalur undangan/SNMPTN di FTTM ITB 2013. Semua berkah kesabaran, keuletan suamiku, yang selain tetap bekerja membantu mantan pimpinan perusahaannya dulu, dan beberapa perusahaan lain teman-teman pimpinannya, dalam urusan test laboratorium pupuk organik di Fakultas Pertanian Unpad Jatinangor, tapi tetap bisa mengutamakan pekerjaan utama kami dalam usaha pembuatan dan penjualan Pempek Helmy, tekwan dan rujak mie. Di mulai kala itu saat krisis Moneter di negara kita, yang membuat pekerjaan saat itu jadi lesu, dimana PT Pupuk Sriwijaya KPW Jabar tidak lagi sebagai pusat pemasaran pupuk Urea ke seluruh Indonesia, tetapi sudah di bagi-bagi di berbagai tempat dan lokasi pemasaran, sehingga urusan kantor yang sebagai rekanan untuk mengangkut pupuk-pupuk dari Gresik ke wilayah Jabar dengan truk-truk kantor menjadi tidak ada yang perlu diangkut lagi. Untunglah, pimpinan kantor merupakan keluarga besar keturunan yang sudah kenyang dan tidak putus asa dengan segala kondisi. Jadi tetap bisa berkembang dengan mengupayakan produksi pupuk organik yang sekarang semakin dibutuhkan oleh para petani. Dan kamipun ikut berkembang. Begitupun dengan Pempek Helmy, tekwan dan rujak mie, karena Bandung semakin diminati para wisatawan, para UMKM seperti kami ikut juga berkembang. Hotel bintang lima langganan kami membangun juga apartemen, dan ruang-ruang meetingnya menjadi beberapa, sehingga customer menjadi leluasa untuk mengadakan berbagai event di Bandung. Dan itupun berarti orderan untuk kami semakin dahsyat. Juga tak ketinggalan beberapa catering langganan, merekapun tampaknya kebanjiran order, dan tentu orderan-orderan pula untuk kami. Walau di Metro sudah kami tinggalkan, karena tenaga kami sudah lelah untuk kesana, tapi beberapa konsumen tetap memesan untuk acara-acara mereka. Semua ini adalah perjalanan hidup, tak bisa di tebak sejak awal, saling kait mengait. Asal kita kuat di dalamnya, Insya Allah nantinya lancar seperti air yang mengalir. Saat di usia 50 ini, Alhamdulillah kami tidak perlu terlalu keras lagi dalam bekerja. Masih bisa untuk bersantai menikmati hidup, mengerjakan apa yang paling kami suka. Yang penting tetap bekerja, beribadah, hidup sederhana, berbagi, terus belajar, semangat dan bersyukur. Insya Allah.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar